Saat Barang Palsu Menjadi Gula Jawa
Fenomena barang tiruan yang bertebaran ibarat gula Jawa: manis di bibir, tetapi kadang pahit di hati. Saat sebuah produk asli laris bak kacang goreng, dengan cepat muncul “duplikat” yang harganya jauh lebih ramah di kantong. Ada yang kualitasnya nyaris menyaingi—bagai pecahan genting yang tampak seperti emas—namun banyak pula yang abal-abal, jahitannya belepotan dan lukisannya ora karuan.
Antara Gengsi dan Kantong
Di era pamer gaya hidup instan, masyarakat tenggelam dalam dilema. Di satu sisi, keinginan tampil priyayi kian menggebu. Di sisi lain, kantong sering kali tak segede gengsi. Wong cilik yang ingin “naik kelas” memilih barang KW agar sekadar kelihatan mewah, meski hanya sesaat. Ini pilihan rasional: gengsi ya gengsi, tapi kenyang tetap kenyang. Lha, wong dihadapkan sama harga asli yang bikin dompet meringis, ya apa boleh buat?
Kualitas Tak Pernah Berbohong
Barang palsu sebaiknya dianggap seperti wayang kulit di ruang tamu: dari jauh cantik, tapi dekat-dekat, jahitannya belepotan. Kadang ada duplikat yang mendekati kualitas asli—metafora presisi yang nyaris sempurna—namun tak jarang malah bikin geregetan. Ojo ngaku-ngaku yen ora biso: palsu ya palsu. Sekalipun bentuknya nyaris sama, esensi keasliannya tetap hilang.
Filosofi Jawa: Nglaras dan Tepa Slira
Dalam budaya Jawa, hidup itu soal nglaras—menyesuaikan diri dengan keadaan—dan tepa slira—bertenggang rasa. Barang tiruan ini mencerminkan hasrat manusia untuk diterima. Mereka tak mau kegencet, dipandang rendah. Maka diibaratkan seperti tempe yang tak perlu menyamar jadi steak, namun tetap bergizi dan disukai banyak orang. Bukankah lebih elok rendah hati dan bangga dengan apa yang kita punya?
Dampak yang Tersembunyi
Di balik seloroh dan senda gurau, peredaran barang palsu menyimpan sisi gelap. Produsen asli dirugikan, konsumen bisa tertipu, dan negara kehilangan pendapatan pajak hingga ratusan triliun rupiah. Budaya konsumerisme yang tak sebanding dengan daya beli memaksa wong cilik terjebak dalam siklus tiruan, padahal mereka sejatinya korban sistem yang timpang.
Kearifan: Andhap Asor dan Gotong Royong
Layaknya wayang yang selalu kembali ke gunungan, saatnya kita pulang ke nilai dasar: andhap asor (rendah hati), tepa slira (empati), dan selaras dengan kemampuan. Jangan sampai sirna jati diri demi gengsi semu. Hidup itu bukan soal apa yang kita punya, melainkan bagaimana kita tetap rukun dan saling menghargai, meski dalam keterbatasan.
Mangan ora mangan kumpul—yang penting bukan sekadar apa yang dikenakan, melainkan kebersamaan dan harmoni. Inilah kearifan sejati: lebih baik makan seadanya bersama saudara, daripada kenyang sendiri sambil menyamar jadi priyayi gedhe.